SEJAK dua tahun silam, perempuan 36 tahun ini tertarik teknik pewarnaan ecoprint. Bermula dari eksperimen yang dilakukan bersama siswanya di SMKN 1 Jiwan. ‘’Ternyata bagus. Lalu saya menekuni sendiri di rumah,’’ kata warga Cokromenggalan, Babadan, itu.
Sejak mengenal ecoprint, Dwi banyak belajar teknik pewarnaan secara otodidak. Ecoprint sejatinya menitikberatkan pada penerapan warna alami. Bahwa warna pakaian yang cantik tidak perlu sampai harus merusak alam. ‘’Kalau mengambil pewarnaan dari daun, misalnya, kan tidak merusak alam,’’ ujarnya sembari menyebut produk ecoprint-nya dinamai Klamben.
Dari belajar otodidak, Dwi akhirnya tahu bahwa daun jati yang sudah gugur bisa memberi warna kuning tua yang eksotis. Pun, dengan daun jarak ulung dan jarak kepyar. Atau, daun dari pohon tabebuya yang kini sedang populer itu. Masing-masing bisa menghasilkan warna khas. ‘’Dan bahan-bahan alami itu bisa diperoleh di sekitar kita. Tanpa harus membeli di toko,’’ terangnya.
Dwi menjelaskan secara singkat teknik ecoprint yang dia terapkan. Kain yang hendak diwarnai terlebih dahulu di-treatment khusus supaya lebih mudah menyerap warna. Begitu pula daunnya, jika ingin merubah warna aslinya. Misal, dengan memberi bubuk tunjung untuk menjadikan warna lebih gelap. ‘’Juga bisa dengan tawas, nanti membuat warna dari daun jati menjadi ungu. Intinya, zat tanine pada daun yang kuat itulah yang bisa memberikan warna pada pakaian,’’ paparnya.
Setahun merintis Klamben, Dwi mulai memetik rupiah cukup lumayan. Lantaran busana ecoprint terbilang masih langka, jadi banyak dicari. Lewat teknik pewarnaan itu, Dwi sukses menyulap kain yang mulanya seharga Rp 100 ribu menjadi Rp 500 ribu. Prospek yang menggiurkan. Belakangan dia juga mengikutsertakan karyanya pada beberapa pameran. Hasilnya semakin banyak pesanan datang. ‘’Rata-rata baru dari kalangan teman. Dari Solo, Jogja, Jakarta, terjauh Kalimantan,’’ sebutnya.
Komentar Terbaru